Translate

Kamis, 23 Juli 2015

Pentingnya Pembangunan Karakter untuk Masyarakat Nagari Pangian

Selama Ramadhan 1436 H, Padang Ekspres melaksanakan program bedah kinerja kepala daerah, khususnya kepala daerah yang masa jabatannya habis pada tahun ini. Bentuk programnya, kepala daerah, dalam hal ini bupati dan wali kota diundang ke redaksi Padang Ekspres dan memaparkan apa-apa saja yang sudah dilakukannya setelah lima tahun memimpin daerahnya.
Setelah pemaparan, acara akan dilanjutkan dengan tanya jawab dan diskusi dengan awak redaksi Padang Ekspres. Hasil pemaparan dan diskusi tersebut akan diracik oleh wartawan dan diterbitkan di halaman satu. Saya berkesempatan mengikuti diskusi dengan tiga bupati, yaitu Bupati Tanahdatar Shadiq Pasadigoe, Bupati Solok Syamsu Rahim, dan Bupati Padangpariaman, Ali Mukhni.
Dua di antaranya sudah terbit di halaman satu Padang Ekspres, kebetulan saya sendiri yang menulisnya. Sedangkan hasil diskusi dengan Ali Mukhni akan diterbitkan besok, yaitu Senin (29/6). Jujur saja, ketiga kepala daerah ini membuat saya terkesan dan saya pikir siapa pun yang melanjutkan kepemimpinan atau berniat mengabdi ke daerah sebagai kepala daerah, harus belajar banyak kepada tiga orang ini, yaitu Shadiq Pasadigoe, Syamsu Rahim, dan Ali Mukhni.
Meski tidak setenar Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini atau Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, di mata saya, ketiganya sudah berhasil meninggalkan konsep dasar pembangunan yang apabila programnya diteruskan pemimpin setelahnya, itu akan menjadi ciri khas daerah tersebut. Shadiq Pasadigoe misalnya, sepuluh tahun memimpin Tanahdatar, dia fokus pada pembangunan di bidang pendidikan.
Di eranya, tidak boleh ada masyarakat Tanahdatar yang putus sekolah dengan alasan tidak ada biaya. “Untuk masalah ini, saya sendiri yang turun tangan mengurusnya,” tegasnya pada diskusi itu. Pada suatu perbincangan santai dengan saya, dia mengaku fokus pada pendidikan karena menyadari Kabupaten Tanahdatar tidak memiliki potensi besar di bidang lain.
Jika anak-anak Tanahdatar bisa sekolah tinggi, menurutnya mereka bisa berkiprah di mana saja, dan pasti akan membantu sanak saudara dan pembangunan di kampungnya masing-masing. Untuk menjamin keberlangsungan program ini, di masa kepemimpinannya dilahirkan Perda Pendidikan yang nantinya menjamin pendidikan anak Tanahdatar walau dia sudah tidak memimpin Tanahdatar lagi.
Sedangkan Syamsu Rahim memilih fokus pada pembangunan manusia, yaitu dengan program musyawarah tigo tungku sajarangan (MTTS). Dengan adanya program ini, diharapkan segala permasalahan di nagari bisa diselesaikan secara musyawarah. Dia juga fokus pembangunan manusia di bidang keagamaan. Harapannya, jika masyarakat sudah melaksanakan kehidupan sesuai aturan agama dan adat, maka kehidupan masyarakat akan lebih baik.
Sedangkan Ali Mukhni memiliki keunggulan lain, yaitu rajanya pembangunan infrastruktur. Di masa kepemimpinannya, banyak mega proyek yang sudah dikerjakan, sedang dikerjakan dan akan dikerjakan. Di antaranya, pembangunan Asrama Haji, pembangunan stadion berkelas internasional, pembangunan pelabuhan dan pusat pendidikan latihan perkapalan. Pembangunan irigasi, jalan lingkar, hingga pusat industri pun sedang berlangsung di daerah ini.
Yang menariknya, jika di daerah lain sering kali pembangunan terkendala lahan, Ali Mukhni bisa menaklukkan permasalahan itu. Harusnya Padang memakai jasa Ali Mukhni, sehingga pembangunan jalur dua Bypass, Jembatan Kuranji, Alai-Bypass dan pembangunan yang terkendala lahan lainnya bisa diselesaikan.
Hampir sama dengan Shadiq, kata dia, setiap ada urusan yang terkendala, dia langsung turun tangan mengatasinya.
Dia tidak malu duduk berjam-jam dengan masyarakat, dari pagi hingga subuh dia relakan waktunya untuk bertemu masyarakat dan meluluhkan hatinya karena menyadari pentingnya pembangunan. Saya melihat, Ali Mukhni menyadari Padang sebagai ibu kota provinsi tidak bisa dikembangkan lagi. Selain lahan yang sempit, banyak yang terkungkung hutan lindung, diperparah dengan sulitnya pembebasan lahan.
Sebagai daerah tetangga, dia harus menangkap momen ini dan melakukan pembangunan sebanyak-banyaknya di Padangpariaman. Dari ketiga pemimpin di atas, ada pelajaran yang bisa dipetik, yaitu fokus, konsisten dan bersedia menerima masukan. Sesuatu yang dilaksanakan fokus secara berkesinambungan, terus dievaluasi, pasti akan membuahkan hasil.
Menurut saya, tidak perlu harus doktor atau profesor untuk jadi pejabat. Dari tiga pemimpin yang saya sebutkan di atas, ketiganya hanyalah pegawai negeri sipil. Ada yang mantan guru, mantan pegawai DLLAJ, hingga mantan sekda. Namun, saya menilai mereka mengerti betul apa yang dibutuhkan daerahnya.
Mereka benar-benar serius mengurus masyarakat. Mereka kesampingkan ego “golongan” untuk kemaslahatan masyarakat yang sudah memilihnya. Hasilnya, Shadiq terpilih pada periode kedua dengan suara 61 persen, Syamsu Rahim yang menyeberang dari Kota Solok ke Kabupaten Solok juga menaklukkan hati para pemilih. Untuk Ali Mukhni, saya yakin bisa menang di atas 55 persen.
Sumbar membutuhkan pemimpin seperti mereka, yang fokus dan konsisten pada satu bidang pembangunan. Menurut saya, bidang itu adalah pariwisata. Tidak perlu banyak gerakan, tapi hasilnya tak kunjung terlihat. Cukup satu yang boneh, tapi fokus, diurus dengan serius, konsisten dan berkesinambungan.
Mengingat Pangian
Mendengar pemaparan para kepala daerah, saya ingat kampung halaman saya, yaitu Nagari Pangian yang terletak di Kecamatan Lintau Buo. Nagari yang indah, dengan infrastruktur yang memadai (kecuali ketersediaan air bersih).
Saya sebenarnya bisa bangga dengan kampung saya ini. Betapa tidak, kampung saya sudah masuk listrik, jalan aspal mulus hingga ke pelosok kampung. Ada jaringan telekomunikasi hingga internet. Tingkat pendidikan masyarakat cukup baik.
Saya berpikir di Nagari Pangian tidak dibutuhkan lagi pembangunan fisik yang wah. Cukup dioptimalkan saja yang telah ada. Namun yang perlu menjadi fokus adalah pembangunan karakter.
Pembangunan karakter menurut saya lebih tinggi nilainya dibanding pembangunan intelektual. Sebab, saat ini sudah banyak sarjana di nagari yang terkenal elok baso ini.
Namun, tidak banyak yang bisa menyelenggarakan jenazah saat ada kematian, ada kegamangan ketika khatib Jumat tidak datang, warga kebingungan ketika ada acara berdoa bersama, sebab tidak banyak yang bisa memimpin doa.
Kata Ketua IKPR pusat, Dodi Maivo, Harus diakui meski banyak yang berpendidikan, namun SDM masyarakat masih rendah.Rendahnya SDM dapat dilihat dari rendahnya partisipasi warga dalam pembangunan nagari. Pengurus Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN), Kerapatan Adat Nagari (KAN) hingga pengurus masjid, orangnya itu-itu saja. Pudurnya tigo tungku sajarangan bisa dilihat dari semakin hilangnya peran ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai di tengah masyarakat. Tidak jarang, sesama ninik mamak saling sikut, bersengketa berkepanjangan, hingga tersandung masalah lainnya.
“Lihat saja, tak jarang ninik mamak sibuk memperebutkan harta pusako, memperebutkan gelar. Mereka tidak lagi memberikan suri teladan pada kemenakan, melainkan contoh yang buruk,” ujarnya.
Di nagari-nagari  juga mengalami krisis tokoh agama. Bahkan, untuk Shalat Jumat saja, banyak masjid yang linglung mencari khatib Jumat. Padahal, dalam adat pun seharusnya sudah ada ninik mamak yang bertugas untuk itu.
Kemudian, para cadiak pandai, terkadang tak bisa berbuat banyak karena budaya cimeeh masyarakat.
“Karena permasalahan di atas, fungsi musyawarah yang seharusnya menjadi ciri khas Minangkabau tidak bisa berjalan sesuai harapan. Bahkan, tanpa disadari sudah terjadi kediktatoran dalam nagari,” jelas Dodi.
Akibat kekerabatan di nagari sudah tergerus, banyak pertikaian dalam kelompok masyarakat adat. Hal itu, tambahnya, bisa dilakukan dengan membuat program berkesinambungan.
“Misalnya, satu jorong satu mubalig, menyiapkan imam masjid dan sistem nagari yang dapat menyelesaikan permasalahan di nagari dengan baik,” ujarnya. (*)